Jumat, 14 September 2012

Hadiah Termanis


Hari Minggu memang hari yang ditunggu-tunggu oleh semua anak asrama, termasuk diriku. Setelah seminggu lelah dengan rutinitas sekolah dan asrama, hari Minggu menjadi kesempatan yang baik untuk mudik dan liburan bersama keluarga.
Alhamdulillah, akhirnya sampai rumah juga, batinku.
“Ayah,Ibu….Sani pulang….!” Tak ada yang menyahut panggilanku.
            “cklek…,” kubuka pintu.
Aneh, pikirku. Tidak ada orang di rumah, tapi pintu tidak dikunci. Aku kemudian masuk dan mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Benar saja, aku menemukan sesuatu, buku agenda terbuka dengan pulpen di atasnya.

Sani,,
Ibu dan Ayah sedang di rumah nenek Rumi, ada sesuatu yang harus diselesaikan dan sekarang juga. Tolong jaga adikmu baik-baik dan jangan lupa mengantar Rasta ke sekolah sore. Ibu..

Huft,, hari Minggu pengen libur malah disuruh jadi babysitter, keluhku.
Kubanting buku agenda dan pulpennya ke atas meja. Kuhempaskan tubuhku di atas sofa. Kugembungkan pipiku sebagai ungkapan rasa kesalku.

****************

Adik-adikku baru pulang ketika aku selesai merapikan ruang tengah dan ruang tamu.
“Kakak,, mau makaaaaannnnn…” Rasta, adikku yang paling kecil menyapaku dengan rengekan.
“Ambil sendiri di dapur sayang, kakak belum sempat menyiapkan di meja makan.”

Rasta langsung lari ke dapur, sementara Rani langsung menyalakan TV tanpa menyapaku. Dia memandangku sekilas dan kembali asyik dengan TV-nya. Rasta kembali ke ruang tengah dengan sepiring nasi, sayur, lauk, dan sendok garpu di  kedua tangannya. Mereka asyik makan berdua sambil nonton TV dan menganggapku tak ada.   
Aku merasa terasingkan karena sikap kedua adikku. Aku yang dari tadi mencoba mengajak ngobrol mereka sama sekali tak digubris. Mereka benar-benar menganggapku tak ada. Aku hanya bisa bersungut-sungut menahan marah dan sedih.
    “Kalian di rumah dan jangan kemana-mana!!!! Aku mau ke rumah bibi Yanti sebentar.”
Rani hanya memandangku sekilas dan kembali menyendok nasinya tanpa menanggapi perintahku. Huft,, sungguh menyebalkan, batinku.


***************************

Aku terlalu asyik ngobrol dengan sepupuku, dan ketika kulihat jam tangan ternyata sudah pukul 15.05. Aku teringat kalau harus mengantar Rasta ke sekolah sore. Aku segera pamit dan pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, aku sangat terkejut. Ruang tamu dan ruang tengah yang tadi sudah aku rapikan sekarang telah disulap menjadi kapal pecah oleh kedua adikku.
   “Rani,Rasta…..apa yang Kalian lakukan? Kalian benar-benar keterlaluan!”
Sepi tak ada jawaban. Kemana mereka, pikirku.

Aku kemudian menuju ke kamar Rani, berharap bisa menemukan kedua adikku sedang tidur di sana. Ketika aku membuka pintu kamar, aku tambah terkejut. Bukan kedua adikku yang ku temukan, tapi kamar kosong yang berantakan, sampah berserakan, dan pecahan celengan ayam tercecer kemana-mana. Kemarahanku benar-benar memuncak sore ini.
            
Rasta. Aku kembali teringat harus mengantar dia ke sekolah sore sebelum pukul 16.00. Kucoba cari ke rumah budhe, tapi adikku tak ada di sana. Kucari lagi di rumah teman-teman bermainnya, tapi tak ada juga. Aku mencari keliling kampung, tapi tak ketemu juga. Akhirnya aku kembali ke rumah dan memilih menunggu kedua adikku pulang dan siap-siap memarahi mereka.
           
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 17.25 tapi kedua adikku belum pulang juga. Aku mulai resah dan berniat mencari adikku kembali. Ketika aku mau membuka pintu, adikku sudah lebih dulu membukanya dari luar.
   “Kalian dari mana saja? Seenaknya mengacak-acak rumah yang sudah dirapikan dan meninggalkannya.” Aku diam sebentar. Kedua adikku hanya menunduk.
      “Rani, kamu tau nggak jam berapa sekarang? Dan jam berapa seharusnya Rasta pergi ke sekolah sore? Malah kamu ajak bermain sampai sore begini. Kamu itu sudah SMP, bukan anak SD lagi. Bisa nggak memberi contoh yang baik kepada adikmu? Atau kamu memang sengaja mau membuatku…”
   “SELAMAT ULANG TAHUN KAK…” Rani dan Rasta berteriak sambil mengeluarkan bingkisan yang dari disembunyikan di belakang mereka dan memberikannya kepadaku.
Aku hanya bengong, terharu, dan malu. Sebuah kotak foto bersayap dihiasi bunga warna merah yang di tengahnya ada cermin kecil dan kartu ucapan ulang tahun. Langsung kupeluk kedua adikku.
    “Terima kasih adikku sayang, ini hadiah ulang tahun yang sangat indah dan maaf tadi kakak marah-marah.”
   “Maafkan Rani juga Kak, tadi pas kami ke toko untuk membeli hadiah buat kakak, ternyata uangnya hanya pas untuk beli hadiahnya, jadi kami pulang jalan kaki sehingga sampai rumah kesorean.”
Air mataku meleleh dan pelukanku semakin erat.


 By: Luluk Anisatun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar