Di
sudut jalan sebuah kota, saat waktu menunjuk pukul 16.25 waktu setempat, duduk seorang nenek berusia kira-kira 60 tahun dengan mengenakan pakaian lusuh
dengan rambut putihnya sedang menyodorkan sebuah baskom ukuran sedang berwarna biru kepada pengendara yang berhenti di lampu merah. Tak hentinya ia
menyodorkan mangkok kecilnya kepada para pengendara, dan receh demi receh ia
kumpulkan pada hari itu.
Tak
lebih dari satu menit, lampu lalu lintas itu memancarakan lampu hijau, dan nenek
itu pun kembali ke sudut jalan kemudian duduk sambil menunggu lampu merah
kembali menghentikan para pengendara.
Seorang
pejalan kaki yang ketika itu melintas di dekat lampu merah, melihat seorang nenek sedang
duduk dengan memegang sebuah baskom berwarna biru sambil menatap
lampu lalu lintas dengan sebuah pengharapan besar kepadanya.
Seorang
pengguna jalan itu kemudian menyibukkan tangannya mencari uang kecil untuk
diberikannya kepada nenek itu.
Tak
lama, ia menemukan uang kecil dari saku celana kanannya, dan langsung ia
berikan uang tersebut kepada nenek itu sambil bertanya :
“Siapa
nama nenek?” Tanyanya sambil mengambil posisi duduk tepat di samping nenek itu.
“Warsinih.”
Nenek itu menjawab dengan menganggukkan kepalanya sambil menatap wajah pejalan
kaki itu.
“Sama
siapa nenek di sini?” Tanyanya lagi.
“Nenek
sendiri di sini cu.” Nenek itu menjawab dengan masih menatap wajah pejalan kaki
itu.
“Di
mana tempat tinggalnenek?” Tanyanya lagi seolah ingin tahu lebih tentang nenek
itu.
“Di
bawah jembatan layang tidak jauh dari sini cu.” Jawab nenek itu sambil menunjuk
arah di mana tempat tinggalnya berada.
“Nah
loh, kenapa nenek tinggal di bawah jembatan layang? Emang nenek ngga punya
tempat tinggal lain selain di situ?”Pejalan kaki itu bertanya dengan
mengerutkan dahinya.
“Hhmm.Nenek
ngga punya tempat tinggal lain selain di bawah jembatan layang itu cu. Jembatan
layang itu adalah tempat di mana nenek bisa berteduh dari derasnya hujan dan
teriknya matahari, dan satu-satunya tempat di mana ibu bisa berbaring ketika
badan terasa lelah untuk beristirahat sambil menanti pagi mengajak beraktivitas
seperti biasa.” Jawab nenek itu dengan lengkapnya.
“Kalau
boleh saya bertanya lagi, nenek pasti bukan penduduk asli kota ini, betulkan?”Pejalan
kaki bertanya sambil menatap wajah nenek itu dengan rasa ingin tahu yang
mendalam.
“Iya
cu, nenek memang bukan penduduk asli sini, nenek datang dari sebuah kampung
yang jauh dari kota ini untuk merantau mengadu nasib mencari nafkah buat
menyambung hidup nenek.” Jawab nenek itu.
“Ou.”
Sahut pejalan kaki itu sambil menganggukkan kepalanya.
“Terus,
kenapa nenek memilih pekerjaan ini? Kan masih banyak pekerjaan-pekerjaan lain
yang sekiranya lebih bisa di pandang terhormat dibandingkan dengan pekerjaan
ini!” Tanya pejalan kaki itu dengan mengerutkan dahinya.
“Hhmm.”
Nenek itu hanya menghela nafas kemudian diam sambil menundukkan kepala menatap
mangkok kecil merah jambunya itu.
“Kok
nenek diam?” Tanya pejalan kaki itu penasaran
“Nenek
ngga punya pilihan lain selain memilih pekerjaan ini cu, susah untuk mencari
pekerjaan di kampung, mungkin hanya ini pula lah yang bisa nenek lakukan di
sini, mengingat nenek hanyalah lulusan sekolah rakyat, dan usia nenek pun sudah
sangat tua, ngga mampu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang terlalu berat.”
Tambah nenek itu.
“Sudah
berapa lama nenek melakukan pekerjaan ini di sini?” Tanyanya lagi.
“Hampir
15 tahun nenek melakukan pekerjaan ini di sini.” Jawabnya.
“Di
mana keluarga nenek?” Tanya pejalan kaki itu dengan suara yang lusuh.
Nenek
itu langsung terdiam dan menundukkan kepalanya. Ia meneteskan air dari sudut
matanya. Ia menangis, tak kuasa menjawab pertanyaan pejalan kaki itu.
Lebih
dari satu menit nenek itu mengalirkan air mata melewati pipi keriputnya.
Pejalan kaki itu tambah iba dan merasa bersalah kepada nenek itu dengan
pertanyaannya tadi. Ia pun sempat panik melihat nenek itu menangis.
Tak
lebih dari dua menit,nenek itu pun berhenti mengalirkan air matanya. Namun ia
masih terdiam dan tertunduk seperti sedang memikirkan sesuatu yang amat sulit
untuk dipecahkan dan tak tahu kepada siapa ia harus mengadu.
“Nenek
sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarangcu.” Nenek itu menjawab pertanyaan
pejalan kaki tadi dengan tersendat-sendat menahan kesedihan yang amat mendalam.
“20
tahun yang lalu, nenek ditinggal mati oleh suami nenek, dan 2 tahun berselang anak-anak
nenek juga meninggalkan nenek tanpa nenek tahu kenapa mereka meninggalkan nenek.”
Tambah nenek itu dengan wajah meringis menahan tangis.
“Maafkan
saya jika pertanyaan saya membuat nenek bersedih, saya tidak bermaksud seperti
itu kok nek.” Sela pejalan kaki itu.
“Iya
cu, ngga apa-apa.” Sahut nenek itu.
Tak
terasa waktu telah menunjuk pukul 15.45 waktu setempat, nenek itu akhirnya
mengakhiri pembicaraan dengan sang pejalan kaki. Nenek itu berpamitan kepada
sang pejalan kaki hendak pulang dan beristirahat karena tubuh mulai lelah.
“Nenek
pulang dulu ya cu. Hari sudah menjelang maghrib, dan badan nenekjuga mulai
pegel-pegel. Nenek mau beristirahat dulu. Terima kasih sudah mau mendengarkan
ceritanya nenek.” Nenek itu berpamitan.
“Iya
nek, silahkan. Saya juga minta maaf kalau saya sudah mengganggu aktivitas
keseharian nenek.” Sahut pejalan kaki itu.
“Hati-hati
ya nek?” Tambahnya.
Nenek
itu pun pergi meninggalkan sang pejalan kaki sendirian. Pejalan kaki itu masih
melihati nenek itu ketika hendak menyeberang jalan.
Tanpa
melihat kanan kiri, nenek itu langsung menyeberangi jalan raya kota itu.
Tiba-tiba dari arah samping kanannya terlihat sebuah mobil box melaju kencang
dan seketika menabrak tubuh nenek itu. Nenek itu terpental lima meter jauhnya.
Pejalan
kaki itu menjerit ketika melihat nenek itu di tabrak oleh mobil, dan ia
langsung berlari menghampiri nenek itu. Dengan tubuh gemetar, pejalan kaki itu
memangku tubuh nenek itu yang telah berlumuran darah. Nenek itu mengatakan sesuatu kepada pejalan kaki itu.
“Cu,
sebelum nenek meninggalkan dunia yang fana ini, nenek ingin mengatakan satu hal
yang harus cucu ingat sepanjang hidupmu. Maknailah setiap apa yang cucu lakukan
dalam hidup. Karena dengan kita memaknai, kita dapat mengetahui rahasia di
balik kehidupan.”Nenekitumengatakannyadenganmenggenggamerattanganpejalan
kaki itu.
Setelah
mengatakannya kepada pejalan kaki itu,ia menghembuskan nafas terakhirnya. Hal
itu menjadi pesan terakhir dari nenek pengemis tua bagi pejalan kaki.
By : Must Sure (MasSuranto)
By : Must Sure (MasSuranto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar